Selasa, 07 Agustus 2018

Famous Food Minggu Pertama (Tahu Sumedang)

Asal kata Menurut Ong Yoe Kim, tokoh tahu Sumedang, "tahu" berasal dari bahasa Mandarin dòufu (豆腐) dibaca tou-fu atau tāu-hū oleh orang Hokkian.

 
- Kreativitas
Bermula dari kreativitas yang dimiliki oleh imigran Cina, Ong Kino dan istrinya yang menjadi perintis untuk memproduksi tahu di Sumedang yang awalnya dibuat dari kedelai lurik yang mirip telur puyuh. Tahun demi tahun, Ong Kino beserta istrinya terus menggeluti usaha mereka hingga sekitar tahun 1917, dan anak tunggal mereka bernama Ong Bung Keng untuk melanjutkannya. Ong Bung Keng kemudian melanjutkan usaha keduaorangtuanya yang memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Republik Rakyat Tiongkok.
Melalui generasi Ong Bung Keng yang terus melanjutkan usaha yang diwariskan dari kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya di usia 92 tahun. Di balik kemasyhuran tahu Sumedang ada pula kisah seperti yang diceritakan cucu dari Ong Kino, Suryadi. Sekitar tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Bung Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja yang kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja, Sumedang. Kebetulan, sang pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum. Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, "Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)". Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari tahu. Karena penasaran, sang bupati langsung mencicip satu. Setelah mencicipi, bupati secara spontan berkata dengan wajah puas, "Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!". Tak lama setelah kejadian ini, tahu digemari oleh penduduk Sumedang dan kemudian sampai ke seluruh Indonesia.

-Perbedaan dengan tahu biasa
Tahu ini setelah digoreng dengan bumbu yang sama, menghasilkan bentuk yang berbeda dari tahu goreng biasanya. Koagulan yang dipakai adalah sisa dari penggumpalan tahu, disebut larutan biang yang disimpan selama 2–3 hari, yang prosesnya menggunakan asam cuka. Tahu ini bisa mengalami perubahan rasa setelah beberapa jam dibeli jika dibuat secara tradisional, kedelai asli tanpa pengawet. Rasa gurih berubah menjadi asam, kulit yang garing menjadi liat. Tapi ini dapat disiasati dengan penyimpanan di kulkas. Penggorengan yang tepat yaitu dalam minyak yang panas / menguap, api besar, daya muat penggorengan, serta jumlah tahunya.

“Ketika leluhur orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka bukan bawa agama sebagai orang Arab atau orang Barat. Tetapi, mereka bawa makanan yang lambat laun menjadi makanan rakyat Indonesia jelata.” Penggalan kalimat ini disampaikan oleh Kwee Kek Beng dalam prasarannya berjudul ‘Sumbangsih Apakah yang Dapat Diberikan oleh Warganegara Indonesia Keturunan Asing kepada Pembinaan Kebudayaan Nasional Indonesia? '.
Kalimat tersebut lantas diperkuat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Hoakiau di Indonesia. Walaupun bangsa Barat ke Indonesia membawa keju dan mentega, kepopulerannya tak bisa menandingi makanan Tionghoa nan murah seperti tahu, takwah, kecap, bakmi, teh, taoco, sayur asin dan sebagainya. Tutur Pramoedya.
Sebagai salah satu makanan khas Tiongkok, tahu memiliki sejarah tersendiri di bumi nusantara. Istilah tahu terdiri dari dua suku kata Tionghoa yakni tao/teu yang berarti kacang kedelai dan hu berarti hancur. Menurut sejarawan JJ Rizal, tahu disajikan orang Tionghoa di nusantara pada abad ke-10. Namun terbatas di kalangan elit. Ungkapnya seperti dilansir Historia.id.
Menginjak abad ke-19, warga pulau Jawa dilanda kelaparan dan kekurangan gizi akibat cultuurstelsel (Tanam Paksa). Sumber pangan mulai sulit, saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif. Dan tahu menjadi penyelamat krisis orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.  Kini, keberadaan tahu menjadi makanan merakyat. Bahkan menjadi sebuah ikon khas dari salah satu kota di Jawa Barat, Sumedang. Kemasyhuran tahu sumedang sudah tak asing lagi bagi kita semua.
Rahasia Dapur Tahu Sumedang
Tahu seolah menjadi identitas bagi kota Sumedang. Perkembangannya tak bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan imigran Tionghoa bernama Ong Kino. Sam Setyautama dalam bukunya Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa menuliskan jika niat awal Ong Kino membuat tahu awalnya untuk menyenangkan istrinya. Ketika teman-temannya mencoba dan dirasa enak, muncullah ide Ong Kino untuk menjajakan tahu itu di Sumedang.
Pada suatu ketika, kemasyhuran rasa tahu buatan Ong Kino ini sampai di telinga Pangeran Situraja. Sang pangeran lantas mampir ke tempat pembuatan tahu Ong di Tegal Kalong. Sesampai disana, Pangeran Situraja menilai tahu itu akan laku keras dan disukai banyak orang. Bak mantra manjur, tahu olahan Ong Kino menjadi primadona kota yang berjarak 45 kilometer dari Bandung ini.
Hingga kini, banyak orang bertanya-tanya apa rahasia dibalik kelezatan tahu legendaris tersebut. Ada yang menyebut kandungan air di daerah Sumedang yang beda seperti mata air panas, mata air rasa asin, dan maa air rasa asam di blok sawah Cipanas. Tak cukup sampai disitu, ternyata ada rahasia lain dibalik proses pembuatannya. Berikut 7 diantaranya yang dikutip dari buku Indonesia Poenja Tjerita.

Bahan baku tahu Sumedang menggunakan kedelai lokal. Walaupun lebih kecil namun dipercaya memiliki cita rasa lebih lezat daripada kedelai impor.
Pembuatan tahu Sumedang juga dipengaruhi oleh kandungan air daerah tersebut yang mengandung banyak mineral seperti kalsium. Kandungan inilah yang dipercaya membuat tahu lebih kenyal dan awet walau tanpa bahan pengawet buatan.
Sebelum diolah menjadi tahu, kedelai direndam selama lima jam. Jika melebih waktu lima jam maka rasa akan berubah.
Yang tak kalah penting lagi adalah kebersihan mesin penggiling dan peralatan. Karena sari kedelai yang tertinggal di dalam mesin akan membuat tahu menjadi asam.
Percampuran cukai dengan sari kedelai dilakukan sedikit demi sedikit sembari diaduk, tak dilakukan secara sekaligus. Hal ini akan membuat sari kedelai menggumpal sempurna.
Beda dari yang lain, tahu Sumedang tidak menggunakan bahan pengawet buatan.
Penggorengan dilakukan dengan menggunakan minyak baru dan berlimpah pada suhu paling tinggi. Minyak tersebut tak digunakan berulang-ulang. Dulu, proses penggorengan dengan minyak kacang. Kini karena semakin sulit dan mahalnya minyak kacang maka diganti dengan minyak goreng.
Itulah beberapa rahasia dibalik tahu Sumedang yang terkenal akan kelezatannya. Indonesia memang kaya akan asimilasi budaya, termasuk budaya kuliner. Jika dulu tahu dikenal sebagai makanan khas Tiongkok penyelamat kekurangan gizi, kini keberadaannya di Indonesia telah menjadi bagian dari khazanah budaya kuliner bangsa. Dan, sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus menjaga dan melestarikannya.

Sumber :
Sejarah RI. 2016. Indonesia Poenja Tjerita. Yogyakarta : Bentang Pustaka
Pramoedya Ananta Toer. 1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta : Garba Budaya
Rahadian Rundjan. Sejarah Tahu, Tahu Sejarah. http://historia.id/kuliner/sejarah-tahu-tahu-sejarah

0 komentar:

Posting Komentar